Fetisisme Ngafé sebagai Wujud Eksistensi Remaja Kota Malang
Apa yang
Anda lakukan ketika menunggu traffic
light menyala hijau pada gerbang keluar Universitas Brawijaya – Soekarno
Hatta? Mengamati lampu berubah menjadi hijau sudah pasti. Selain itu beberapa
dari Anda pasti mengamati billboard dan
spanduk-spanduk yang berada di area tersebut. Ukurannya yang besar dan
lokasinya yang strategis membuat billboard
dan spanduk iklan tersebut menarik mata.
Deretan Cafe di Sepanjang Jalan Soekarno - Hatta, Malang (dok. pribadi) |
Salah satu iklan yang paling sering
muncul pada billboard dan spanduk
tersebut adalah iklan pembukaan café baru. Istilah café sendiri berasal dari
kata coffee yang secara harfiah
adalah (minuman) kopi. Kemudian terjadi pergeseran arti di Indonesia di mana
istilah café menjadi tempat yang menyajikan minuman, baik kopi maupun minuman
lain, dan makanan ringan (Wikipedia, 2014) .
Dalam setahun terdapat lebih dari
satu café yang berdiri di Kota Malang dengan beragam konsep yang ditawarkan.
Menjamurnya café di Kota Malang menunjukkan bahwa tingkat permintaan masyarakat
terhadap café cukup tinggi.
Café
saat ini telah menjadi gaya hidup masyarakat urban, khususnya remaja. Menurut Minor dan Mowen (2002, p. 282) gaya hidup merupakan
hal yang menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya,
dan bagaimana mengalokasikan waktu. Pergi saja ke salah satu café di Kota
Malang mulai siang hingga malam (sesuai dengan jam operasional café), maka Anda
akan dengan mudah menemukan para remaja menghabiskan waktu dan uang mereka di
sana. Tentunya dengan teman-teman dan gadget
yang selalu on. Tak lupa update status, lokasi, dan foto dengan background interior café.
Saat
ini café tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan ragawi remaja, namun
café telah menjadi alat pemenuh kebutuhan sosial. Buktinya mereka rela membayar
minuman ataupun makanan yang harganya empat hingga lima kali lipat dibandingkan
dengan harga di warung biasa. Lalu apa yang mereka jual? Jawabannya adalah suasana!
Mereka,
para “pemuja” café rela merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan sentuhan
emosi yang ditawarkan oleh café. Entah itu perasaan bangga, gengsi, atau
kehangatan (Herlyana, 2012) . Mereka pun terjebak dalam fetisisme komoditas
yakni sikap pemujaan terhadap sebuah komoditas lantaran daya pesonanya yang
memikat.
Dalam
kaitan dengan fetisisme dan dilihat dari perspektif semiotika, manusia memiliki
kemampuan untuk menciptakan “sistem symbol” (Cassirer, 1944) di mana suatu
objek selain bernilai guna juga bernilai simbolik, yakni sebagai tanda untuk
mengomunikasikan dan mempertontonkan status sosial dan identitas dirinya kepada
orang lain. Dapat pula dikatakan bahwa objek yang dikonsumsi manusia pada
dasarnya merupakan sarana komunikasi artifaktual untuk menunjukkan identitas
sosial dan sekaligus membedakan diri sendiri dengan orang lain (Ibrahim, 2007).
Hal ini menunjukkan bahwa suatu objek tidak hanya memiliki makna denotative,
tetapi juga memiliki makna konotatif (Barthes, 2004).
Fetitisme
ngafé pada gaya hidup remaja Kota
Malang telah membuat mereka terjebak dalam nilai simbolik (konotatif). Dalam
gaya hidup seperti itu, terjadi pemaknaan berlebihan pada komoditas di luar
konteks utilitas, karena dianggap memiliki kekuatan mutlak atas kehidupan
manusia. Semakin eksklusif café yang dikunjungi maka semakin tinggi pula nilai
konotatif yang didapat.
Pada
akhirnya, I shop, therefore I am! Aku
berbelanja, maka aku ada. Ketika mereka pergi dan menghabiskan uang mereka dengan
mengunjungi café-café yang ada, maka mereka telah menunjukkan keeksistensian
mereka sebagai makhluk hidup di muka bumi ini.
===================================================================
Tulisan ini merupakan tugas akhir
penulis pada mata kuliah Cultural Studies di tahun 2015. Penulis
menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak kekurangan. Adanya kritik
membangun sangat diharapkan agar tulisan ini mampu menjadi lebih baik.
Penulis saat ini merupakan mahasiswa
aktif jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya Malang.
Komentar
Posting Komentar