Anjani dan Andini: Ketika Umur 20 Mendatangi
Umur 20-an adalah umur kritis bagi para
gadis. Pertanyaan-pertanyaan tentang “lelaki” mulai bermunculan dari sana sini,
seperti peluru yang ditembakkan ketika perang terjadi. Bagi kembang desa
seperti Anjani, merasakan jatuh cinta dan dikagumi oleh kumbang-kumbang di
taman merupakan hal biasa. Dirinya adalah kembang mawar yang mampu menarik
jutaan kumbang. Rasanya istilah wanita “dipilih” tidak berlaku baginya, karena
Anjani lah yang memilih siapa prianya.
Berbeda
sekali dengan Andini. Teman sekampungnya yang juga sepantarannya. Kulitnya tak
seputih dan sekonclong Anjani. Wajahnya biasa saja dengan hidung pesek khas
orang Jawa. Tingginya? Biasa saja, bahkan tergolong pendek. Badannya? Sedikit
kekar untuk ukuran wanita, mungkin karena sudah turunan dari bapaknya yang
“pendekar” alias pendek mekar (menunjukkan tubuh pendek dengan badan gemuk).
Yaahh pokoknya bagai bumi dan langit lah dan di usianya yang menginjak 20
sekian Andini mulai was-was.
“Weleh-weleh
wes gede yo Andini. Rasa-rasae arep mantu maringene …”
“Piye nduk,
wes duwe calon tha? Pasti wes nduwe iki …”
“Sopo
pacarmu saiki nduk? … ojo goro pasti wes nduwe tho hahaha”
Hmm …
pertanyaan-pertanyaan di atas bagai peluru yang berdesing setiap saat. Ketika
ketemu keluarga, tetangga, bahkan konco-konco* (bahasa jawa dari teman). Andini
hanya tersenyum manis sambil mengutuk dalam hati.
Bukan
maksud untuk mengutuk, hanya saja Andini berbeda dengan kembang-kembang
se-usianya. Ketika malam tiba, bintang-bintang selalu menjadi saksi
peraduannya. Mengapa ia tak kunjung bertemu dengan sang kumbang hingga saat
ini. Apakah karena warna-warni Andini tak se-elok kembang yang lain? Atau
karena cakap Andini yang terlalu membosankan para kumbang? Dan hanya dugaan
demi dugaan, spekulasi demi spekulasi, pikiran demi pikiran yang menghantui
Andini di kala sepi.
Anjani dan
Andini, ketika usia 20 mendatangi …
Anjani
seringkali menangis ketika bertemu Andini. Mengatakan bahwa semua kumbang sama
saja dan tak ada yang bisa memahami. Namun tak lama kemudian, Anjani tersenyum
lebar bagai bunga bermekaran di musim semi. Tak ada lagi kisah kumbang jahat,
kumbang tak peka atau kumbang-kumbang tercela lain. Yang ada hanyalah
kesalahapahaman yang menjadi kerikil dalam kisah kembang-kumbang insan manusia.
Kemudian kerikil tersebut akan diikuti oleh kata-kata manis, hadiah romantis,
dan kejutan-kejutan fantastis bak akhir kisah Cinderella.
Andini
dalam ruangnya hanya bisa mendengar dan membayangkan. Ia tak pernah tahu
rasanya dibawa melayang oleh para kumbang seperti cerita Anjani. Dan di setiap
malamnya dia selalu berusaha tidur lebih cepat agar rasa itu tak menghantui
malamnya yang sepi.
“Walah-walah
Din … Din … wes talah ojo pacaran! Ora ono manfaate,”ucap Anjani seringkali.
Sayangnya Anjani seringkali mengingkari ucapannya yang membuat Andini merasa
dibodohi. Sebenarnya Andini tak begitu berharap memiliki kisah pacaran dengan
kumbang lain di usianya yang “segini”, karena ia tahu bahwa ada hal lain yang
harus diutamakan. Namun tetap dalam hatinya yang paling mendasar, ia berharap
ada kumbang yang pernah menyatakan sukanya kepada Andini. Tapi… bukan kumbang-kumbang iseng yang kumbang
jahil yang sekilas pandang ketemu di pasar lho yaa, melainkan kumbang-kumbang
yang selama ini sudah berkenalan dengan Andini di dunia nyata.
Yaah
Andini hanya bisa menanti. Seperti kata emak bilang bahwa hakekatnya kumbang
yang “memilih” dan kembang yang “dipilih”. Tapi rasa-rasanya kok gak berlaku ke
Anjani yaa.
Weleh-weleh
demi menghibur diri konco-konco sering bilang bahwa fisik itu bukan yang
terpenting, tapi cantiknye hatilah yang utama. Tapi lek dirasa-rasa kok ya rada
munafik. Buktinya saja sudah jelas, seperti Anjani dan Andini. Sing ayu macem
Anjani tinggal memilih kumbang yang paling pas, sedangkan yang pas-pasan macam
Andini hanya bisa berdoa agar usia 20 sekiannya tidak menjadi mimpi buruk.
Komentar
Posting Komentar