Separuh Roti di Tengah Malam

                 Hi buddy! Long time no see hehe ~ Kali ini aku memosting salah satu cerpen ku. GJ (seperti biasanya), tapi aku gak bakal menyerah buat karya hehe. Sebenarnya aku bingung judul apa yang pas. Setelah berpikir keras, aku memilih judul tersebut. Daripada omonganku semakin ngalor ngidul, selamat membaca :D

                                                                             ~ ~ ~

                                                    Separuh Roti di Tengah Malam

                  Lemas. Tubuhku benar-benar letih. Rasanya aku tak sanggup berjalan lebih jauh lagi. Sinar lampu jalanan malioboro menusuk-nusuk mataku. Suara motor, pejalanan kaki, nyanyian pengamen jalanan bercampur menjadi satu membuat kepalaku semakin pusing. Dunia terasa berputar di hadapanku. Aku tak sanggup lagi. Kakiku lemas dan seketika langit menjadi gelap.
~ ~ ~
            Pusing. Langit tetap gelap, namun nampak cahaya temaram dari bintang. Di mana aku? Apa yang baru saja terjadi padaku. Tiba-tiba sepasang mata anak kecil memandangku.
            “Apa yang kau lakukan?”tanyaku kaget sambil berusaha untuk duduk.
            Anak kecil itu terdiam lama, lalu ia mulai berbicara. “Tadi, nona pingsan di jalan. Aku hanya menyeret nona ke tepi agar nona tidak terinjak-injak.”
           
Apa? Pingsan? Jadi aku baru saja pingsan. Pantas, kepalaku masih pusing. Aku berusaha mengembalikan inderaku sepenuhnya. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas. Jalanan telah sepi, hanya beberapa orang lalu lalang. Tubuhku masih tetap utuh, walau ada beberapa noda di baju. Anak kecil itu – kira-kira dia berumur sembilan tahun. Bajunya compang-camping dan rambutnya awut-awutan. Walau begitu, ia memiliki pandangan yang hangat.
            “Sudah berapa lama aku pingsan?”
            Dia terdiam lagi. “Mmmm, sekitar dua jam,”ucapnya malu-malu.
            Kriekk ... aw, mengapa di saat seperti ini perutku berbunyi? Aku berusaha menguatkan diri, namun aku tak bisa. Aku benar-benar lapar! Seharian ini aku belum makan. Seandainya saja, aku tidak dirampok oleh perampok sialan tersebut. Sigh ...
            “Mau?”tanya anak kecil tersebut sambil menawarkan sepotong roti untukku. Tidak, aku tidak bisa mengambil roti itu. Aku yakin anak tersebut lebih membutuhkan daripada aku. Aku menggeleng, namun aku tidak bisa berbohong bahwa aku sangat lapar.
            “Ambillah.” Aku tidak kuat. Akhirnya kuambil roti tersebut dan membelahnya menjadi dua. Kuberikan separuh kepada anak tersebut. Awalnya anak tersebut menolak, namun setelah kupaksa akhirnya dia mau.
          
Mmmm ... roti ini jauh dari standar roti yang biasanya aku makan. Walau begitu, roti ini terasa lebih nikmat. Roti ini mampu menenangkanku di tengah dinginnya malam. Memberikan kekuatan yang lebih daripada roti yang biasanya aku makan. Setelah roti itu selesai kulahap, anak tersebut memandangiku dan tertawa kecil.
            “Hei, kenapa kamu tertawa?”
            Dia nampak malu-malu, lalu menjawab pertanyaanku. “Nona terlihat sangat bahagia. Seakan-akan roti itu adalah harta yang berharga. Nona kayak orang ndeso yang makan rotinya bule-bule hehe.”
            Hah? Jadi kayak gitu tampangku ya? Namanya aja orang lapar gak ketulungan. Tiba-tiba sebuah pertanyaan terbersit di pikiranku. “Dik ...” Anak itu memandangku, menanti ucapanku selanjutnya. “Mengapa kamu mau memberikan roti ini padaku? Padahal kamu sendiri sudah serba kekurangan.”
            Dia tidak tertawa seperti tadi, namun tersenyum manis yang begitu menenangkan. “Selama aku masih bisa memberi, mengapa aku tidak memberi? Aku lebih senang ketika aku bisa memberi sesuatu kepada orang lain daripada menerima. Bukan berarti aku tidak mau menerima, hanya saja – aku senang memberikan kebahagiaan kepada orang lain.”
            Hatiku mencelos! Anak sekecil ini bisa berpikiran seperti itu. Tak ada keraguan dalam nada bicaranya, dia benar-benar tulus. Di dunia yang kejam ini, dia mau memberi dengan ikhlas walau ia juga sangat membutuhkan. Rasanya aku ingin berteriak dan menangis. Sebagai orang dewasa aku merasa malu! Selama ini aku lebih sering meminta dan menerima, padahal aku diberi kelebihan daripada anak ini.
            “Nona aku tidur dulu ya. Besok aku harus bangun pagi untuk bekerja. Besok, akan aku antar nona ke kantor polisi.” Aku mengangguk, dan berterima kasih dengan segala bantuan yang dia berikan. Kemudian anak kecil tersebut tertidur di atas kardus bekas dengan berselimut koran. Hatiku benar-benar miris. Aku ingin membawanya ke tempat yang lebih baik, namun aku tak bisa. Aku terlalu lelah dan ini sudah larut malam. Aku pun memutuskan untuk tidur dengan sebuah pandangan baru. Pandangan untuk mengubah diri dan sekitar menjadi lebih baik.
            “Selamat malam,"ucapku.
~ ~ ~


Komentar

Postingan Populer